Informasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Akademik 2024-2025, Anda dapat menghubungi Whatsapp Centre 0811-5872-300, 0812-5660-8604

Anak Baik Lahir dari Guru yang Baik, Refleksi Keteladanan Keluarga Ibrahim


GENERASI
terdidik adalah manusia-manusia yang intelek, beradab, dan memiliki kesadaran penuh terhadap tanggungjawabanya sebagai seorang hamba dan khalifah dihadapan Allah SWT.


Untuk mewujudkan generasi tersebut di atas mengharuskan adanya lingkungan pendidikan yang kondusif dalam memproses menuju pencapainnya, kurikulum yang sejalan dengan fitrah penciptaan manusia serta pendidik yang memiliki spirit kehambaan yang kuat.

Menelusuri jejak perjalanan tarbiyah Nabi Allah Ibrahim Alaihissalam, kita akan menemukan prototipe pendidikan yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah Ta'ala. Sebab Ibrahim Alaihissalam sebagai pendidik adalah seorang guru keluarga yang taat kepada Allah, ketaatan yang tiada taranya.

Mengapa Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam meletakkan anaknya Ismail yang masih bayi dan istrinya Siti Hajar di sebuah lembah tandus yang tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya di dekat Ka’bah.

Kenapa Ibrahim justru bukan memilih tempat yang potensi pertaniannya berlimpah, subur dan banyak tanaman dan buah-buahan didalamnya atau wilayah yang peluang ekonominya menjanjikan atau paling tidak, tempat yang ada didalamnya persediaan makan dan minum yang secara logika manusia lebih pas untuk tumbuh kembang bagi seorang bayi dengan aman, kuat dan sehat.

Dalam hal ini, rahasia tersebut terjawab dalam firman Allah SWT yang artinya:

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”.(QS Ibrahim: 37)

Terbukti kemudian apa yang digambarkan oleh Allah terkait harapan besar Nabiyullah Ibrahim as dalam qur'an surah ibrahim diatas justru di daerah yang dikenal tandus inilah, lahir manusia yang  ketaatannya kepada Allah sungguh luar biasa.

Suatu ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam bermimpi menyembelih anaknya yaitu Nabi Ismail Alaihissalam. Lalu dikatakannya hal itu kepada Ismail, anaknya yang sudah besar itu pun menjawab "Hai bapakku, kerjakanlah sebagaimana diperintahkan Allah yaitu menyembelihku, mudah-mudahan bapak akan menyaksikanku berhati sabar".

Maka Nabi Ibrahim Alaihissalam pun membaringkan Ismail ke tanah dengan maksud akan menyembelihnya. Pada saat itulah Allah Ta'ala menebusinya dengan seekor biri-biri (kibas) yang besar diikarenakan sabar dan takwanya, maka Ismail pun diangkat menjadi Rasul Allah.

Ketaatan Ismail kepada perintah Allah dan kesabarannya menerima cobaan yang begitu berat adalah buah dari pendidikan yang dibangun dalam keluarga yang taat.

Ibrahim Alaihissalam adalah manusia yang dijuluki Khalilullah (kesayangan Allah Ta'ala). Julukan Khalilullah disandang oleh Ibrahim disebabkan karena selalu menempatkan perintah Allah di atas segala-galanya.

Bisa dibayangkan bagaimana perihnya hati menerima perintah menyembelih anak sendiri yang keberadaannya sudah lama dinantikan yang menjadi harapan penerus perjuangan dihari kemudian, tetapi interest pribadinya diabaikan demi memenuhi seruan Tuhannya.

Demikian juga halnya Siti Hajar merelakan anaknya dikorbankan demi menunaikan pentintah Allah Ta'ala meskipun hati seorang ibu berat untuk melepaskan anak kesayangnnya itu.

Ismail Alaihissalam adalah profil pemuda yang semestinya lahir dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada saat ini. Sebab generasi seperti itulah yang mampu membawa perubahan mendasar dalam kehidupan manusia.

Jika pendidikan yang ada belum mampu mencetak Ismail-Ismail zaman modern, maka pendidikan yang telah menghabiskan begitu banyak sumber daya dipastikan gagal.

Jika menginginkan lahirnya generasi Ismail di zaman modern yang diharapkan membawa  lentera di tengah gelapnya peradaban yang didominasi syahwat dan syubhat, maka menjadi sebuah kemutlakan adalah pendidikan ditangani oleh manusia-manusia yang tercerahkan secara spritual.

Guru-guru yang menempatkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Barulah ada harapan akan lahir manusia-manusia yang sadar akan kedudukannya selaku hamba dan khalifah yang bertanggungjawab.

Selama pendidikan ini ditangani oleh manusia-manusia penganut sistem nilai sekuler, yang menempatkan nafsunya sebagai penuntun hidupnya yang jauh dari ketaatan kepada Allah Ta'ala maka selama itu pulah pendidikan akan melahirkan individu-individu yang mengalami peribadi terbelah (split personality).

Split yakni suatu keadaan yang dimana seseorang mengetahui suatu perbuatan itu salah, tetapi tetap dilakukan, mengetahui bahwa perbuatan itu bertengangan dengan nilai agama dan norma sosial tetapi mereka tetap saja mengerjakannya.

Split personalitiy membuat pengidapnya tahu mana yang salah dan mana dan benar tetapi pengetahuannya tidak mampu mempengaruhi sikapnya. Kurang lebih seperti inilah profile kebanyakan lulusan pendidikan kita hari ini.

Disamping itu, pendidikan yang sekuler berorientasi pada kecerdasan intelektual yang ditandai dengan standar lulus pada setiap jenjang itu dilihat dari pencapaian nilainya.

Sangat jarang sekolah yang menjadikan ibadah dan akhlaknya menjadi kriteria kenaikan dan kelulusan. Hal ini menunjukkan bahwa para guru dan pengelola pendidikan gagal memahami esensi pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan pikiran tetapi juga pendidikan dituntut membangun jiwa peserta didiknya.

Berkaca pada keberhasilan Nabi Ibrahim Alaihissalam sebagai pendidik, dalam menelurkan anak-anak yang tidak hanya sukses secara intelektual, tapi juga mampu mengantar manusia berakhlaq mulia sekaligus memiliki ketaqwaan yang kuat dihadapan Allah Ta'ala.

Kita dapat menemukan keteladanan dalam beberapa hal, diantaranya adalah kekuatan imannya yang tak tergoyahkan. Tidak ada lagi suatu kekuatan yang mampu memalingkan diri beliau dari berbuat taat kepada Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman:

"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata, "Dan dari keturunanku (juga)?" Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim." (QS Al-Baqarah: 124)

Seorang guru dengan keimanannya tidak lagi mengabaikan perintah dan larangan sesederhana apapun. Iman yang ada di jiwanya akan teraktualisasi melalui sikap dan tingkahlakunya secara tulus.

Ia harus bisa melewati ujian yang berupa perintah dan larangan dari Allah Ta'ala serta ujian-ujian lainnya. Itulah guru sejati, guru yang akan menghasilkan generasi emas di masa datang.

________

*USTADZ FIRDAUS, penulis adalah pendidik dari lingkungan Pondok Pesantren Hidayatullah Bontang