Informasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Akademik 2024-2025, Anda dapat menghubungi Whatsapp Centre 0811-5872-300, 0812-5660-8604

HIDAYATULLAH DAN POLITIK

Oleh: Ibnu Chalick Shafiyyurrahman
(Staff INFOKOM Pada Forum Pelajar-Mahasiswa Wajo-Ciputat Jakarta)

I. Pengantar
Sebelumnya, perlu kiranya penulis menjelaskan latar belakang atas pemilihan judul diatas. Ada ketertarikan yang mendalam dari penulis untuk masuk ke wacana paling sensitive ini dalam wadah organisasi Islam dewasa ini. Politik sangat memiliki arti penting dalam gerak langkah organisasi. Termasuk ormas Hidayatullah. Timbul di dalam benak penulis keyakinan akan letupan potensi politik massa yang dimiliki Hidayatullah. Entah berapa tahun yang akan datang ledakan revolusi itu lahir, yang jelas, masa itu akan ada. Apalagi mengingat perhelatan akbar pesta demokrasi tahun 2009 mendatang sudah di depan mata. Segenap komponen individu dan parpol mulai start sejak awal mencuri perhatian public. Hidayatullah sebagai sebuah organisasi Islam terbesar ke 3 di Indonesia, menurut penulis, akan memiliki peran besar dalam dilemma perpolitikan di Indonesia.

Penulis tertarik untuk mengkomparasikan dinamika politik antara ormas Muhammadiyah dan Ormas Hidayatullah. Mencermati perkembangan Muhammadiyah, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun terkahir terjadi pergulatan pemikiran di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) terhadap peran politik Muhammadiyah dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Seperti yang di ungkapkan Maryogi Jass dalam buku Muhammadiyah Menjemput Perubahan: 2005; hal. 250 bahwa setidaknya terdapat dua kutub yang berbeda dalam menyikapi berbagai perilaku politik yang berkembang di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, baik yang berskala nasional maupun local.

Kutub pertama perpandangan bahwa dinamika perubahan bangsa ini harus terus disikapi oleh Muhammadiyah dalam berbagai dimensi (politik, ekonomi, social, dan lainnya). Karenanya, Muhammadiyah tidak boleh “buta politik” tetapi juga jangan politik dijadikan tujuan utama dari pergerakan Muhammadiyah.

Sementara, kutub kedua berpandangan bahwa aktivitas politik warga Muhammadiyah pada dasarnya merupakan bagian dari strategi dakwah. Karenannya, untuk memenangkan tujuan dan cita citanya, Muhammadiyah harus mempu memiliki “kendaraan” politik yang kuat dan elegan untuk mengantarkan tujuan dan cita cita tersebut tercapai. Dengan demikian, kegiatan politik melalui partai politik merupakan “keharusan” untuk diikuti, bahkan dimotori oleh Muhammadiyah. (Mitsuo Nakamura, et al, Muhammadiyah menhemput Perubahan: 2005; hal. 250).

II. Dinamika Politik Dalam Ketidakpastian
Ketika wacana dan gerakan reformasi melanda hampir di seluruh Negara berkembang pada awal tahun 1997, Indonesia ternyata tak dapat menhindarinya. Orde baru pimpinan Presiden Soeharto yang dianggap cukup kuat membangun system kekuasaan yang sentralistik dan otoriterianisme melalui strategi “three in one”-nya partai politik dan dwi fungsi ABRI sebagai stabilitator ideology yang dibangun, juga tidak mampu menghadang gelombang reformasi Indonesia. Fakta sejarah dinamika perubahan sosial politik yang berujung pada runtuhnya kekuasaan rezim orde baru tersebut harus diakui tidak terlepas dari peran sosok tokoh dan “lokomotif reformasi” yaitu Prof. Dr. H. Muh. Amin Rais yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sebagai pemimpin organisasi Islam dengan amal usaha terbesar di Indonesia, peran dan sepak terjangnya sangat terasa bagi perubahan politik di Muhammadiyah yang pada puncaknya melahirkan partai politik yang berlambang matahari bersinar mirip dengan lambang Muhammadiyah dengan nama Partai Manata Nasional (PAN). Ini penulis kira penting untuk menjadi satu masukan cerdas terhadap gerakan politik ormas Hidayatullah. Bagaimanapun, secara usia dan pengalaman, ormas Muhammadiyah sangat jauh diatas pengalaman ormas Hidayatullah. Pergerakan Muhammadiyah yang lahir dari ketidakmenentuan arah pendidikan dan system dakwah Islam di Indonesia pada masa pergerakan nasional Indonesia untuk melawan segala bentuk determinasi dan diskriminasi. Saat itu memang telah lahir ormas kepemudaan yang mengusung semangat patriotisme dan nasionalisme seperti Boedi Oetomo dan Syarikat Dagang Islam. Namun, Muhammadiyah dapat tampil dengan mainstream yang lebih unik dan kompatibel dalam pergerakannya hingga hari ini dengan mengusung gerakan nasionalis religius.

Penulis melihat, kegamangan dan fenomena dualisme versi penyikapan realitas politik yang terjadi di Muhammadiyah juga telah mulai menimpa ormas Hidayatullah secara faktual dewasa ini. Hal ini terlihat dengan munculnya kontraversi antara kader Hidayatullah sendiri bahkan simpatisan. Dalam hal ini, menurut penulis, telah terjadi pemisahan dua kubu yakni antara kubu satu dan kubu dua. Persis seperti yang di alami Muhammadiyah dalam tulisan awal diatas


III. Antara Gerakan Politik dan Gerakan Sosial
Terminology gerakan politik dan gerakan social setidaknya dapat di jadikan sebagai pendekatan dalam menganalisis fenomena perubahan perilaku organisasi Hidayatullah, apakah masih berada pada bingkai khittahnya atau telah mengalami pergesaran. Suatu perubahan social masyarakat dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu perubahan yang di dorong oleh keinginan memperbaiki kondisi stuktural social yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi, dan dorongan untuk merebut kekeuasaan melalui struktur politik (Batemmore: 1990; hal. 32)

Disamping itu, pergeseran ideology, rendahnya pendidikan dan pendapatan masyarakat merupakan factor pendorong terjadinya perubahan social tersebut (Merton dan Kelly dalam Mitsuo Nakamura, et al: 2005; hal. 252).

Seiring dengan itu fenomena perilaku politik yang terjadi di Hidayatullah belakangan ini mempunyai kecenderungan pada gerakan politik praktis (walaupun tidak praktis betul; penulis), namun, demikian sebenarnya Hidayatullah tidak terbiasa, bahkan belum bisa (kalau tidak bisa dikatakan tidak mampu) terlibat dalam power politic, apalagi ijtihad politik warga Hidayatullah bisa dilakukan sendiri sendiri dan tidak bisa di dikte oleh unsur manapun.

Pendapat penulis diatas diadaptasi dari pandangan dan analisa Azyumardi Azra terhadap gerakan politik Muhammadiyah pada dekade lima tahun terkahir. Dalam argumentasinya tersebut, Azyumardi Azra mengemukakan bahwa secara realitas social memberikan bukti nyata bahwa dukungan politik yang diberikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak cukup ampuh mengantarkan sosok Amien Rais menjadi Presiden RI pada pemilu 2004 yang lalu. (Azyumardi Azra dalam Sudasiandes: 2005; hal. 55).

Mencermati pendapat Azyumardi Azra tersebut, ada baiknya warga Hidayatullah menjadikan hal tersebut sebagai pembelajaran yang cukup berarti, terkhusus kepada orang orang tua dan juga kader yang telah teramanahi untuk terjun “bermain” di arena politik ini.

Relitas politik yang terjadi di dua daerah Indonesia, Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, sudah cukup menjadi sample atas “ketidakberdayaan” politic power yang dimiliki Hidayatullah. Bergainning politik Hidayatullah, setelah melihat dua dinamika tersebut, belum mampu memberikan pengaruh yang baik terhadap public untuk mendukung dua kontestan pesta demokrasi tingkat daerah tersebut.

Kekalahan Abdul Aziz Kahar Mudzakkar misalnya pada pemilihan gubernur daerah provinsi Sulawesi Selatan April lalu adalah tidak terlepas dari derasnya aliran dana yang mengalir dari calon lain. Dana itu yang kemudian nanti menjadi politic power bayangan, termasuk dalam hal ini adalah gerakan gratifikasi terhadap mereka yang punya wewenang dan posisi kuat (jika misalnya ada). Bahkan rakyat pun bisa kebagian “amplop” ini demi sebuah kemenangan dan kursi panas gubernur. Selain daripada itu ada hal yang sebetulnya, menurut penulis, lebih berpengaruh. Antara lain dari sebab pengaruh itu adalah; kuatnya network dan daya tawar politik yang dimainkan oleh calon lain baik pada tingkat local maupun nasional.

Hidayatullah, walaupun sudah secara formal memberikan dukungan terhadap Abdul Aziz Kahar Muzakkar, namun kenyataannya belum bisa memberi efek berarti. Begitupun yang terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara dimana Hidayatullah juga mengusung kadernya, Nursyamsa Hadits.

Namun, ada keanehan belum bisa penulis terjemahkan yang terjadi di PPU. Keanehan itu menurut penulis adalah terjadinya koalisi pluralistik. Dalam hal ini Nursayamsa Hadits di dukung dan diusung oleh partai nasionalis dan beberapa partai yang berideolgi agak “liberal-religius”. Menurut penulis, Hidayatullah telah percaya dan setuju dengan pandangan “Politik Inklusif”. Politik keterbukaan ini juga telah diwacanakan oleh Partai Keadilan Sejahtera. Dan kenyataannya, partai tarbiyah ini pun menyetujui system pergerakan politik yang toleran dan terbuka ini pada acara Munas di Bali beberapa waktu lalu.

Inklusifitas, katanya, adalah sebuah keniscayaan dan keharusan dalam politik. Partai politik yang cenderung ekstrim dan dan tidak mengkedepankan azas kebersamaan dan keberagaman akan terjungkal. Mungkin karena Hidayatullah tidak mau dikatakan oposan, ekstrim, eksklusif, tidak toleran dan teroris akhirnya pun ikut terjebak dalam distorsi tafsir inklusifitas. Walaupun harus mengorbankan harga diri organisasi dan jama’ah.

IV. PENUTUP
Diakhir tulisan ini penulis dapat menyimpulkan bahasan makalah diatas bahwa Hidayatullah sedang dalam kegamangan dalam menentukan aspirasi politiknya. Akhirnya karena ketidakmengertian akan orientasi politik Hidayatullah saat ini dan akan datang oleh sebagian warga/ jama’ah yang masih awam, termasuk penulis, maka memunculkan persepsi yang berbeda beda dalam definisi politik Hidayatullah yang sebenarnya. Fenomena ini memberikan cerminan bahwa perlu kiranya ada pencerahan orientasi politik Hidayatullah kini, esok dan akan datang. Dengan ini diharapkan warga lebih tercerahkan, lebih cerdas dan bijak dalam menyikapi situasi politik yang ada.

Sebagai saran, sebaiknya Hidayatullah lebih berorientasi kepada perubahan social yang di dorong oleh keinginan memperbaiki kondisi stuktural social yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi. Kalaupun memang kemudian letupan libido politik yang dirasakan oleh sebagian warga atau kader sudah sangat kuat untuk segera dapat bermain di kancah politik praktis, cukuplah dulu itu menjadi cita cita yang dipersiapkan.

Hidayatullah sebagai sebuah organisasi massa yang masih belia, masih sangat terlalu dini sebetulnya untuk ikut bermain di politik praktis. Dan demikian sebenarnya Hidayatullah tidak terbiasa, bahkan belum bisa (kalau tidak bisa dikatakan tidak mampu) terlibat dalam power politic saat ini, apalagi ijtihad politik warga Hidayatullah bisa dilakukan sendiri sendiri dan tidak bisa di dikte oleh unsur manapun.


Sekarang, sembari menata organisai Hidayatullah untuk lebih solid dan kuat secara internal maupun eksternal, kita pun terus berupaya membangun system networking yang luas, konsolidasi di tingkat local, nasional, dan internasional serta bergainning power. Semoga dengan tadrib itu semua di kemudian hari nanti Hidayatullah dapat tampil menjadi agen perubahan social dalam lingkup yang lebih besar dan menginternasional. Semoga.

Referensi:
1.Mitsuo Nakamura, et al. Juni 2005: Muhammadiyah Menjemput Perubahan. Kompas. Jakarta
2.Abdul Mannan. 2000: Hidayatullah Kini dan Esok (Edisi Terbatas). Madina Cipta. Jakarta
3.DPP Hidayatullah. 2001: Sistem Pengkaderan Dan Dakwah Hidayatullah. Jakarta

Tulisan ini selengkapnya dapat Anda download disini (Format PDF- 118.84 KB)