Informasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Akademik 2024-2025, Anda dapat menghubungi Whatsapp Centre 0811-5872-300, 0812-5660-8604

Jadilah Anak Anak Akhirat

Dari Ibnu ‘Umar r.a. berkata, Rosulullah pernah menepuk pundakku seraya bersabda: “Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau musafir dalam perjalanan”, maka Ibnu ‘Umar berkata: “Jika kamu berada di pagi hari janganlah menanti datangnya sore hari, dan jika kamu di sore hari janganlah menunggu datangnya pagi. Pergunakanlah waktu sehatmu untuk menghadapi sakitmu dan hidupmu untuk mengahadapi ajalmu” (HR. Bukhory) (HR. Bukhory, Shohih Bukhory Bab.10 Ar-Riqoq no.6416)
(Syarah Arbain Nawawi Oleh Syeikh Sholih al-Utsaimin hadis ke-40)
(Subulus Salam, Syarah Bulughul Marom, Imam Nawawi hadits no.1386).



Faidah hadits ini:
ZUHUD
1. Betapa bagusnya akhlaq Rosulullah dalam bergaul dan menyampaikan nasihat kepada sahabat yang dibawah usianya. Yakni dengan menepuk pundak sebagai tanda bagusnya perangai. Dari hadits ini bisa diambil tauladan bahwa hendaknya seorang muslim agar memiliki perilaku yang mulia sebagaimana nabi Muhammad SAW..
2. Betapa bagusnya nasihat dalam hadits ini untuk memotong angan-angan yang panjang tentang dunia. Dengan mengingatkan bahwa dunia ini bak persinggahan sejenak. Seperti orang lewat atau menyeberang jalan. Peringatan tentang kehidupan dunia yang di akhiri dengan mati menuju kehidupan yang abadi. Supaya kemudian lebih memikirkan tentang akhirat. Sebagaimana yang ada pada kehidupan para sahabat. Mereka banyak bertanya tentang akhirat. Mereka banyak menangis, banyak berfikir, bersedih, berbahagia, bersungguh-sungguh mengenai akhirat. Yang mana hal ini berbeda pada zaman sekarang ini; yang banyak dibicarakan, dipikirkan, ditanyakan, ditertawakan, disedihkan, dimakan, diributkan, dan diperlombakan hanya dunia belaka.
3. Jika yang ada di ubun-ubun seseorang hanya dunia maka ia akan lupa akhirat. Ia akan semakin rakus terhadap dunia ini. Sehingga tidaklah heran timbul kehidupan yang saling menjegal, saling sikut-menyikut, saling menjatuhkan, saling kejar-kejaran demi mendapat kekayaan. Begitu dunianya terusik sedikit, pedanglah yang terhunus. ‘iyadzan billah.
4. Dalam hadits ini juga memberikan nasihat agar manusia tidak mengambil dari dunia ini kecuali sebagai bekal perjalanan. Sebagaimana musafir yang mengadakan perjalanan.. Dan supaya mengambil dunia ini secukupnya. Cukup bukan berarti sedikit. Dan bukan berarti seorang mukmin dilarang mempunyai tempat tinggal, kendaraan, dan harta kekayaan. Bukan. Karena perintah zuhud di sini ada pada masalah hati. Karena bisa jadi orang kaya namun hatinya tidak terpaut dan tergantung pada dunia sama sekali. Sebaliknya justru ada orang yang miskin tapi rakusnya bukan kepalang.
5. Nabi memerintahkan zuhud terhadap dunia dan melarang panjang angan-angan terhadapnya, karena orang yang panjang angan-agannya itu sangat berbahaya. Yaitu, berangan-angan dan berandai andai, berfikir seandainya punya banyak harta maka akan beli begini, begitu, akan menguasai ini, itu, andai kata, jikalau dan seterusnya. Sebagaimana hadits nabi: “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas maka ia akan mengharapkan dua lembah berikutnya. Dan tiada yang bisa menutup mulutnya kecuali debu/tanah” 2).(HR.Bukhory) Maka ia semakin thoma’ akan dunia, mudah iri dengki, sakit hati serta riya’. Malas ibadah, malas mengkaji wahyu Allah, dan beramal sholih.


ORANG ASING
6. Orang asing tentu tidak mungkin menetap dalam suatu negeri. Ia pasti kembali ke kampung halamannya. Ia pasti rindu kepada rumah aslinya. Orang asing ibarat tamu di negeri perantauan. Ia tentu sopan, ramah, mentaati dan menghormati si tuan rumah. Selalu waspada dan berhati-hati di negeri orang. Seorang mukmin tentu lebih rindu memasuki surga. Ia rindu reuni dengan kawan-kawannya di sana.
7. Seorang muslim beriman bahwa di dunia ini ia hanya singgah sebentar dan kelak akan kembali kepada Allah di akhirat. Sebagaimana yang diriwayatkan bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud pernah melihat rosulullah tidur di atas anyaman daun kurma lalu terlihatlah bekas guratan anyaman di punggungnya. Maka Abdullah bin Mas’ud berkata: “wahai rosulullah bagaimana seandainya aku buatkan kasur untukmu?”maka beliau bersabda :”tidaklah aku dan dunia ini melainkan ibarat seorang musafir yang istirahat sejenak di bawah pohon lalu kembali berjalan meninggalkannya..” 3).(HR Turmudzi, hasan shohih, Riyadzus sholihin no. 486).
8. Karena hidup di dunia ini nisbi dan pasti diakhiri mati, maka seorang muslim seharusnya rindu akan kampung akhiratnya di surga, yang mana dahulu nenek moyang kita nabi Adam as pernah menyinggahinya. Ia di dunia ini dari Allah dan kelak kembali lagi kepada-Nya. Dunia dan segala fasilitasnya juga milik Allah yang dititipkan sesaat. Ia tamu di bumi Allah. Seorang tamu yang baik tentunya harus taat atas aturan tuan rumahnya. Tidak mungkin tamu berbuat macam-macam di rumah orang. Dan tuan rumah sekaligus tuan bumi ini adalah Allah. Bumi ini milik Allah dan Allah memberikan aturan di atasnya berupa Al-Qur’an dan Sunnah. Seorang tamu yang baik tentu tidaklah sembarangan berulah di rumah orang, demikian pula seorang mukmin tentu lebih waspada agar tidak melakukan dosa-dosa di bumi Allah.


MUSAFIR
9. Kita diperintah Nabi agar menjadi seperti seorang musafir. Orang yang melakukan perjalanan alias musafir tentu ingin selamat sampai tujuan dan tidak mendapatkan kecelakaan. Demikian pula seorang muslim menginginkan kembali kepada Allah dengan selamat memasuki surga dan terbebas dari siksa neraka. Terhindar dari segala bala’ di dunia berupa fitnah harta, jiwa dan pembunuhan. Terhindar dari siksaan di akherat berupa siksa kubur, dahsyatnya makhsyar, jembatan shirot, huru hara hari kiyamat dan sampai akhirnya selamat memasuki surganya Allah ta’ala.
10. Seorang musafir tentu pula berhitung sebelum melangkah pergi. Ia persiapkan segala bekal yang diperlukan. Ia baru yakin memulai perjalan saat dipandang bekalnya memadai. Tidak mungkin asal jalan. Berbekal 1000 dan 2000 perak. Itu baru perjalanan dunia. Apalagi seharusnya yang dilakukan untuk melakukan perjalanan akhirat. Yang mana sehari di dunia setara 1000 tahun akhirat.4) Yang disebutkan dalam alQur’an: Kholidiina fiiha abadaa, kekal abadi selama-lamanya.5). Seorang hamba seharusnya lebih mempersiapkan bekal amal menuju Allah SWT. Sebab semua harta, anak, istri, kerabat, rumah, dan semuanya akan kita tinggal. Dan ini adalah kepastian. Siapapun tiada bisa menghindar. Rela atau terpaksa, ia kelak pasti mati menuju alam abadi.
11. Inilah pidato yang menyentuh hati seorang kholifah, Umar bin Abdul ‘Aziz: “Jika demikian, maka keinginan seorang yang asing adalah berbekal. Tidak mungkin tidak berbekal. Dan ketahuilah bekal untuk akhirat adalah amal sholih. Ingatlah firman Allah SWT: “dan berbekallah kalian, maka sebaik-baik perbekalan adalah taqwa” 6).(Syarah Bulughul marom)
12. Sifat lain seorang musafir adalah bersungguh-sungguh dalam safarnya. Ia ingin mencapai tempat tujuannya dengan segera, dengan biaya dan tenaga yang efektif dan seefisien mungkin. Dan tidak mungkin ingin berlama-lama dalam safar. Bagaimana mungkin manusia sampai kepada surga sementara tak pernah melangkah. Seorang yang faham tentu lebih bersungguh-sungguh dalam ibadahnya. Sehingga tidak mungkin sholat dengan seenaknya, puasa seadanya, membaca al-Qur’an semaunya, dan serba spontanitas. Tidak mungkin. Tidak ingin pula ia berlama-lama di neraka untuk menerima balasan dosa-dosa. Ia tentu ingin sampai ke surga dengan segera dan aman sentausa.
13. Di saat mampir di persinggahan akhirat ini tentu seorang yang sholih mempergunakannya dengan baik. Sebagaimana musafir tentu harus menyiapkan kendaraan, memperkuat tali terompah, mengisi bejana minuman, dan seterusnya. Ia tahu bahwa dengan menyiapkan segala bekal itu dapat menyampaikan dia ke daerah tujuan dengan bahagia. Dunia ini adalah ladang amal yang kelak balasan pahalanya akan dipetik di akhirat. Barangsiapa yang menanam pohon kebaikan maka ia akan memanen buah yang baik. Demikian pula sebaliknya jika yang ditanam berupa tumbuhan yang buruk.
14. Sebaik-baik bekal menuju Allah adalah taqwa,7) Sedangkan sejelek-jelek beban adalah dosa. Dosa itu beban karena pelakunya harus menanggung siksanya kelak di neraka. Sebagai muslim yang baik tentu ia berusaha mengurangi dosa-dosa dan justru ingin selalu memperbanyak pahala. Sebagaimana seorang musafir tentu tiak mau membebani diri dengan membeli kasur, meja, kulkas, almari, dan beban-beban yang lain. Yang diperlukan adalah bekal bukan beban. Karena beban akan mengganggu dalam perjalanan.

Menggunakan waktu
15. Perintah Abdullah bin ‘Umar agar tidak menunda-nunda amal sampai sore atau besuk pagi seakan-akan betapa terbatasnya waktu ini. Sehingga seharusnya pelit terhadapnya. Tidak menyia-nyiakannya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Mumpung masih punya kesempatan. Yakni, mengoptimalkan amal di waktu sehat sebelum sakit, waktu memiliki rizqi sebelum tibanya kemiskinan, waktu muda sebelum renta, waktu senggang sebelum sibuk, waktu hidup sebelum mati. 8) Karena jika seseorang itu sehat, ia bisa menyelasaikan banyak hal, yang tidak bisa dilakukan manakala sakit. Dengan waktu sehat ia dapat menyempurnakan kewajiban-kewajiban dan ketaatannya kepada Allah.

Bisa bekerja, berkarya dan seterusnya
16. Dengan nasihat akan fananya dunia, maka hendaknya setiap muslim tidak mengulur-ulur waktu dalam beramal. Siapa tahu hari ini adalah hari terakhir hidup. Atau barangkali bulan depan atau tahun depan kita sudah tiada.
17. Perguliran waktu ini akan ditanya oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya; “…kemudian pada hari ini sungguh kalian akan ditanyai tentang kenikmatan-kenikmatan (yang kamu terima)” 9) (Surat At-Takaatsur : 7). Sebagaimana juga peringatan nabi SAW: ……….“Tidaklah bergeser kaki anak Adam kelak pada hari qiyamat sampai ia ditanyai tentang 4 hal; waktu mudanya untuk apa ia habiskan, waktu hidupnya untuk apa ia pergunakan, hartanya dari mana dan ke mana dibelanjakan, dan tentang ilmu yang diperolehnya untuk apa ia amalkan”10). Hendaknya waktu ini tidak disia-siakan berlalu. Karena siapapun tidak tahu berapa jumlah nafas yang bisa mengakhiri kehidupan. Detik ke berapa manusia akan terenggut ajalnya. Oleh karena itu waktu yang diberikan Allah kepada manusia ini sangat mahal. Sehingga harus digunakan dengan sebaik-baiknya.
18. Sebagaimana yang dicontohkan oleh banyak ulama-ulama terdahulu. Mereka membagi waktu siang maupun malam dengan tiga hal. Waktu untuk Allah, waktu untuk keluarga dan waktu untuk dirinya. Waktu untuk Allah yaitu dengan melaksanakan perintah-perintahnya, waktu untuk keluarganya dengan bekerja atau mmpergaulinya dengan bagus, waktu untuk dirinya barangkali ia perlu istirahat, makan, menjaga kesehatan. Dan tiada waktu untuk Syetan.(Penulis: Mardiansyah; Guru di SMA Hidayatullah Bontang)