“Wahai manusia sembahlah tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa” (Al-Baqoroh : 21)
Wahai manusia !
“An-Nas” artinya semua manusia. Kata jamak dari “al-Insan”. Dalam bahasa Arab kata yang diawali dengan alif-lam (AL) menunjukkan arti istighaq yang berarti seluruh manusia. Seprti kata al-Hamdu, yang berarti segala pujian, al-A’mal artinya segala amalan, dan seterusnya.
Yang dimaksud adalah manusia secara keseluruhan. Baik laki-laki maupun perempuan, baik yang besar atau yang kecil, kaya atau miskin, rakyat atau pejabat, bahkan baik yang mukmin atau yang kafir sekalipun diperintah oleh Allah SWT dalam ayat ini untuk beribadah dan taat kepada-Nya dengan seruan “u’budu robbakum !”
Ayat ini termasuk ayat makkiyah dengan ciri-cirinya menggunakan kalimat nida’; “yaa ayyuhan naas”(wahai semua manusia). Kedua dengan perintah untuk mentauhidkan Allah SWT baik secara uluhiyyah dan pengenalan rububiyyah. Ciri ketiga ayat tersebut tidak menyampaikan hukum-hukum kemasyarakatan.
Allah menciptakan langit, bumi, jin, malaikat, binatang, zat padat, cair dan gas serta segala jenis makhluk. Semua makhluk ciptaan-Nya diperintahkan untuk tunduk pada perintah-Nya. Dalam ayat ini Allah hanya menyeru khusus kepada manusia, karena memang kebanyakan manusia menyimpang dari menyembah-Nya. Mayoritas manusia memang sesat dari jalan kebenaran yang diturunkan Allah sehingga perlu untuk diseru.
Sembahlah Tuhanmu !
Manusia diperintah untuk menyembah dan beribadah hanya kepada-Nya semata. Perintah ibadah hukumnya fardhu’ain untuk semua manusia dan jin. Dengan seruan; u’budu robbakum ! ada pertanyaan, apakah perintah ibadah itu hanya sholat ? apakah ibadah itu sebatas baca al-Qur’an? Zakat, puasa, hajji, dzikir dan sebagainya ? Tentu tidak.
Namun bagaimana kalau amal yang tidak diperintahkan secara syar’I seperti makan, minum, berpakain dan masalah-masalah keduniaan yang lain? Jumhur ulama mengatakan tetap ada nilai ibadahnya manakala hal itu dilakukan untuk taqorrub kepada Allah SWT. Sehingga arti ibadah menjadi lebih luas.
Sedangkan Fudhail bin ‘iyadh mengatakan, bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua, yakni ikhlas dan ittiba’ rosul. Ikhlas ibadahnya tapi tidak mencontoh nabi tidak akan diterima. Demikian pula sebaliknya ibadahnya sesuai benar dengan contoh nabi tapi tidak ihklas juga tidak diterima. Antara ikhlas dan ittiba’ semuanya harus ada.
Arti ibadah secara luas yakni segala hal yang mencangkup ucapan, sifat dan perbuatan yang dicintai dan diridhoi Allah SWT baik secara lahir maupun bathin. Sebagaimana hal ini yang diterangkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pernyataan ikrar bahwa kita beribadah adalah ucapan kita dalam setiap roka’at di saat membaca surat al-fatihah; “hanya kepada-Mu kami menyembah ya Allah, dan hanya kepada-Mu pula kami mohon pertolongan”.
Sehingga ibadah berarti bahwa cinta dan benci hanya karena Allah, berharap hanya kepada Allah, takut hanya kepada Allah, berserah diri, tawakkal hanya kepada Allah, taat dan tunduk semata kepada Allah saja, menyandarakan cita-cita dan orientasi tertinggi hanya kepada Allah. Sebagaimana yang dikatakan syeikh Yahya al-Hakami; tidaklah dinamakan ibadah sehingga terkumpul di dalamnya tiga hal; takut, cinta dan ketundukan. Tidak dinamakan ibadah jika ia hanya takut atau hanya cinta namun tidak ada ketundukan.
Seorang ahli ibadah tidak harus selalu di atas sajadahnya. Seorang ‘abid tidak mesti melakukan ibadah ritual terus menerus tiada henti sebagaimana yang dilakukan oleh para pengikut tarikat sufiyah, dan tidak memperhatikan urusan dunia, sampai-sampai menelantarkan anak-anak dan istrinya. Tidak.
Hal seperti itu pernah terjadi pada zaman nabi Muhammad, yakni sahabat yang bernama Abu Darda’. Namun langsung diluruskan oleh sahabatnya Salman al-Farisi. Sehingga mereka menjadi manusia-manusia yang ahli ibadah sekaligus para penguasa dunia. Mereka diibaratkan sebagai malaikat di malam hari dan singa gurun di siang hari. Hati-hati mereka suci mnembus akhirat sedangkan tangan-tangannya menggenggam dunia.
Jadilah sosok-sosok unggul seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabat yang lain. Jadilah igure Abdurrahman bin Auf yang dahulunya miskin. Disamping ia ahli ibadah ia juga saudagar kaya penguasa pasar Madinah. Bilal yang sebelumnya sebagai Budak hina menjadi gubernur Madinah. Umar bin Khotob seorang yang ahli ibadah sampai syetanpun takut ketemu umar ia juga sebagai kholifah penakhluk daratan Eropa hingga Asia. Ekspansi Islam pada zamannya dari Andalusia barat hingga China timur.
Mereka adalah umat terbaik, generasi didikan langsung nabi yang terbaik dalam semua hal Islam; aqidah, ibadah, muamalah, dakwah, manhaj, akhlaq, etos kerja, disiplin, tanggung jawab, dan sebagainya.
Yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu
Siapa tuhanmu? Yaitu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kita, dari bapak-ibu, kakek-nenek kita, buyut, moyang dan seterusnya. Di sini Allah SWT mendidik manusia dengan tauhid Rububiyyah. Yaitu meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan yang maha mencipta, ia pula yang memelihara ciptaan-Nya, menjamin rejekinya, mengaturnya, menjaganya, dan maha berkuasa kepada ciptaan-Nya. Kuasa untuk menghidupkan, mematikan, memuliakan, menghinakan dan sebagainya. Tiada yang kuasa melawan kebesaran-Nya.
Setelah manusia tahu dan sadar akan tauhid rububuyyah ini maka tidak ada alasan lagi untuk tidak menyembah-Nya. Setelah tahu siapa tuhan itu sebenarnya maka tidak mungkin manusia sebagai makhluk yang lemah lalai akan perintah-Nya. Tidak patut manusia sebagai hamba yang lemah tidak taat kepada tuhan yang maha Besar. Sehingga manusia sadar dengan sesadar0sadarnya makna hidup ini; siapa yang menghidupkan dahulu, untuk apa hidup ini dan kemana hidup ini.
Agar kamu bertaqwa
Taqwa berasal dari kata: waqo – yaqi – wiqoyatan, artiya menjaga. Kita beribadah kepada Allah supaya diri kita terjaga. Terjaga dari apa? Terjaga dari dosa-dosa, terjaga dari perbuatan yang tidak pantas, terjaga dari siksa api neraka.
Arti ibadah adaalh semua yang ucapan ataupun perbuatan yang dicintai dan diridhoi Allah SWT dan arti taqwa juga menjaga diri, maka seorang abid hendaknya mampu menjaga dirinya dari segala hal yang dibenci dan tidak diridhoi Allah SWT.
Ibadah seeorang dikatakan berhasil apabila mampu mengantarkan pelakunya menjadi bertaqwa. Oleh karena itu semakin baik dan benar kualitas ibadah seseorang dia pasti semakin menjaga diri. Ia kian hati-hati agar tidak terperosok kepada hasutan hawa nafsu, terjerumus kepada bisikan syetan, maksiyyat, bid’ah dan kemusyrikan.
Seorang yang kualitas ibadahnya baik tentu semakin pula mampu menjaga abggota badannya dari dosa-dosa. Ia jaga lisannya, matanya, telinganya, tangannya, kakinya, hatinya dari sesuatu yang Allah benci. Jika tidak demikian. Maka bisa dipastikan ada yang salah dalam ibadahnya. Mungkin ibadahnya selama ini riya’, atau hanya rutunitas pragmatis, atau tujuannya hanya materi dunia, atau tercampuri bid’ah dan tidak sempurna sunnah-sunnahnya.
Mudah-mudahan semua ibadah kita bisa diterima oleh Allah SWT dan mampu mengantarkan kita kepada taqwa. Amiin ya mujibas sailin. [Mardiansyah]
Ket : Saripati ceramah Syeikh Syuraim di UII Desember 2005 berbahasa Arab.