Informasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Akademik 2024-2025, Anda dapat menghubungi Whatsapp Centre 0811-5872-300, 0812-5660-8604

Menangis

Oleh: Miftahuddin Nurdin
[Mahasiswa STAIL Surabaya dan Alumni SMAH Bontang Thn 2006]

Menangis bukanlah hal yang dilarang dalam islam, baik oleh
al-qur’an maupun hadits nabi, tentu asal tidak berlebihan.
Menangis (seperti halnya tertawa dan bergembira) merupakan
luapan emosi seseorang terhadap sesuatu yang dirasakan
serta dialaminya yang sesungguhnya terkait dengan fitrah
manusia. Bila manusia tidak menngis, berarti ia
mengingkari fitrahnya sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai
kelemahan, kekurangan dan ketidak berdayaan.
Biasanya kita menangis jika ada anggota keluarga yang
berani melawan dan berlaku tidak adil. Kita pasti menangis
ketika dikhianati dan disakiti oleh orang yang selama ini
dianggap teman baik.

Kita meneteskan air mata ketika
sesuatu yang kita miliki dan sangat berharga dalam hidup
ini hilang. Dalam kondisi ini, wajar jika buliran air mata
keluar demi kepentingan duniawi. Lalu, kapan waktu untuk
meneteskan air mata karena mengingat kebesaran, mensyukuri
nikmat dan membayangkan betapa berat siksaan diakhirat
kelak?.

Menangis terkadang identik dengan kecengengan, kerapuhan
dan berbagai identitasyang dikaitkan dengan kelemahan
jiwa, itulah sebabnya tangis sering dikesankan negatif.
Akan tetapi pada kenyataannya, linangan air mata menjadi
bagian dari prosespenenangan jiwa. Dalam tangis, seseorang
sering menemukan kepuasaan dan kesyahduan. Aridin Ilham
mengatakan, “tetesan air mata karena kecintaan kita kepada
Allah Swt adalah bagian dari zikir kita.”

Tangis bukan hanya milik orang-orang awam, para nabi,
wali, orang-orang sholeh pun menangis. Hanya saja makna
tetesannya berbeda dengan orang biasa. Air mata mereka
laksana biji-biji mutiara yang indah tercurah menyenandung
tasbih-tasbih Ilahi. Air mata mereka mengalir dari hati
yang terdalam, murni karena Allah Swt, bukan karena dunia.
Tidak perlu heran jika orang shaleh seperti Abdullah bin
Amr bin Ash ra berkata, “andai aku bisa menangis satu
tetes air mata saja lantaran takut kepada Allah Swt.,
tentu lebih aku senangi dari pada bersedekah seribu
dinar.”

Bagaimana dengan Rasulullah? Tangisan beliau tidak beda
dengan tertawanya, tidak tersedu-sedu, dan tidak keras
suaranya. Seperti juga tertawa beliau yang tidak
cekikikan, namun air matanya mengucur deras. Tangisnya
satu waktu karena kasihan, diwaktu yang lain karena
khawatir kepada ummatnya dan karena takut kepada Allah
Swt, diwaktu yang berbeda. Inilah sesungguhnya tangisan
penuh rdha, cinta (hubb), takut (khauf), pengharapan
(raja’) dan pengagungan.

Imam Ibnu Qayyim membagi beberapa macam tangisan, yang
secara umum terbagi menjadi sepuluh bagian, :

1. Tangis karena kasih sayang.
2. Tangis karena takut dan khawatir.
3. Menangis karena cinta dan rindu.
4. Menangis karena gembira dan bahagia.
5. Menangis karena terkejut dengan datangnya sesuatu yang
menyakitkan dan ketidak sanggupan memikulnya.
6. Menangis karena sedih.
7. Menangis karena lemah dan tidak mampu.
8. Tangisan kemunafikan.
9. Tangisan palsu dan tangisan yang dibayar.
10. Menangis karena solidaritas.

Allah Swt berfirman, “maka hendaklah mereka sedikit
tertawa dan banyak menangis, sebaga balasan dari apa yang
mereka selalu perbuat”. (QS. At-Taubah: 82).
Ayat ini jelas mengisyaratkanagar kita lebih banyak
meluangkan waktu untuk mengintropeksi diri dalam kehidupan
dengan merenungi apa yang telah kita lakukan.

Tidak perlu disesali jika dari proses perenungan itu kita menangis
karena menyadari betapa banyaknya kesalahan dan
kesombongan diri ini, sehingga melupakan keberadaan Allah
Swt, yang sejatinya memberikan kekuatan, anugerah dan
rahmat. Dengan kata lain, lebih baik kita banyak menangis
dari pada banyak tertawa, tentunya menangis bukan karena
dunia.